Tulisan ini adalah salinan dari artikel lama yang ditulis Dwi Agustriani di Portal Panyingkul. Kami menyuguhkan kembali untuk anda mengenal kembali bagaimana Ruma Sokola atau Sekolah Pesisir tahun 2006. Tulisan ini kami pecah menjadi 2 bagian. Bagian pertama bisa dilihat disini. Selamat membaca.
***
Citizen reporter Dwiagustriani menelusuri kehidupan anak-anak di kawasan kumuh di Kelurahan Lette dan Kampung Buyang, Makassar. Sekolah alternatif yang disebut Ruma Sokola didirikan dua tahun lalu oleh sejumlah relawan untuk menampung anak-anak putus sekolah di kawasan yang bersebelahan dengan salah satu perumahan termewah di Makassar itu. Namun, masih banyak anak yang memilih mencari nafkah dari pada belajar di Ruma Sokola.(p!)
***
ANAK-ANAK itu berasal dari kelurahan Kampung Buyang dan Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso. Kelurahan yang berada pada pesisir Pantai Losari. Letaknya hanya tiga blok dari Gelanggang Olahraga Andi Matalatta. Kelurahan yang berada di Jalan Nusa Indah ini memang tak tampak kumuh jika dilihat dari sisi depan.
Rumah-rumah mewah berdesain menarik masih mudah ditemui beberapa ratus meter di sepanjang jalan masuk ke kawasan ini dari arah Jalan Cendrawasih. Taman Kanak-kanak “Santa Anna” yang elit bahkan tampak berdiri anggun. Namun, hanya 50 meter dari TK swasta yang mahal itu tersaji pemandangan yang berbeda 180 derajat.
Di sana terlihat sebuah gapura tua dengan papan penunjuk jalan bertuliskan “Nusa Indah Satu”.
Memasuki lorong selebar dua meter itu, rumah-rumah tampak berdiri saling berhimpit. Jaraknya hanya kira-kira 30 sentimeter antara satu rumah dengan rumah yang lain.
Seng yang termakan karat berwarna cokelat kemerahan menjadi atap yang menaungi rumah-rumah itu. Beberapa lubang di atasnya membentuk bulatan kecil, tempat cahaya menerobos ke lantai. Tentunya di saat hujan turun, para penghuni rumah sibuk menadah air hujan. Tripleks dan papan tipis yang berfungsi sebagai dinding rumah.
Keingintahuan yang tetap tumbuh bersama tumpukan sampah. Foto : istimewa.
Sisi kanan-kiri jalan dipenuhi air selokan yang kental kehitaman, yang tak mengalir. Bau tajam menyeruak. Sampah plastik deterjen, bungkus plastik mi instan, dan makanan ringan mengambang di atas selokan. Tinggi air itu hanya sejengkal dari bibir jalan. Pemandangan anak-anak yang buang hajat di lubang selokan di satu sisi jalan dan warga yang membakar ikan di sisi jalan yang lain, menjadi hal lumrah.
Jalanan kecil ini kemudian menyempit saat mencapai ujungnya, dan bahkan memotong kolong rumah warga. Rumah di sepanjang lorong itu mayoritas berbentuk rumah panggung. Jumlah anggota keluarga yang banyak dengan rumah yang terlalu sempit memaksa warga memanfaatkan kolong rumah mereka untuk ditinggali.
Tak jarang ruang tamu rumah sebelah harus berhadapan langsung dengan comberan rumah yang lain. Ketika musim hujan air selokan meluap, membanjiri lantai rumah warga. MCK dan sanitasi di daerah ini menjadi sesuatu yang asing. Mereka lebih memilih untuk buang hajat di selokan atau di genangan air laut yang tak mengalir.
Daerah sekitar kelurahan ini awalnya merupakan laut dalam, yang sekaligus menjadi pusat mata pencaharian penduduk yang menjadi nelayan. Namun, reklamasi pantai mengharuskan mereka beralih mata pencaharian. Pembangunan Jalan Metro Tanjung Bunga yang membelah lautan da terhubung hingga Kabupaten Gowa menyebabkan terjadinya pendakalan sekitar Kampung Buyang. Limbah yang dulunya mengalir ke laut lepas, kini terhalangi oleh pembangunan jalan itu. Jadilah kini limbah itu menggenang di pesisir Kampung Buyang. Daerah itu pun menjadi makin kumuh dan kotor.
Pantai Buyang. Foto : istimewa.
Tentu saja sulit bagi para nelayan lokal mengharapkan hasil laut yang memadai di perairan yang makin dangkal dan tercemar. Hanya nelayan yang berperahu mesin yang dapat terus bertahan dengan menjelajah hingga ke laut lepas. Sedangkan para nelayan kecil harus beralih menggeluti kerja kasar. Buruh bangunan, tukang becak, berjualan ikan, atau berjualan buah dan jagung rebus menjadi alternatif pekerjaan, yang menurut mereka penghasilannya jauh lebih rendah.
Kehidupan yang makin sulit inilah yang dituturkan anak-anak yang belajar di Ruma Sokola, serta anak-anak Kampung Buyang lainnya yang saya temui. Mereka terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan biaya.
Indahsari, bocah lincah yang putus sekolah saat kelas tiga SD bercerita mengapa ia berhenti sekolah.
“Na suruh ka guru minta uang bayar sekolah. Na bilang, mintako sama mamamu uang sekolah,” katanya menirukan penuturan ibu gurunya,“terus Mamaku bilang, jangan mako dulu ke sekolah. Karena ndaz` ada uang. Adekku sekarang yang sekolah kelas satu.”
Nada lirih juga keluar dari mulut Lilis Karlina yang akrab di panggil Lina. Ia berhenti sekolah karena ibunya yang menyuruhnya berhenti.
“Nda tau kenapa. Sampe ja kelas dua,” jelasnya sambil mengerjakan soal perhitungannya.
Seperti halnya Indah, Lina juga harus bergantian dengan adiknya untuk mengecap rasanya duduk di bangku sekolah.
Ketika ditanya tentang pekerjaan orangtuanya, dengan ekspresi kebingungan ia menggelengkan kepala.
“Mamaku tinggal ji di rumah. Bapakku juga.”
Tak hanya Lina dan Indah, namun puluhan anak kemudian merasakan hal yang sama. Harus putus sekolah kerena tak ada biaya.
Tergerak akan hal tersebut, Sokola, sebuah komunitas alternatif untuk pendidikan mendirikan Ruma Sokola di Makassar pada bulan Januari 2005.
Nama sekolah ini disebut juga “School by the Sea” atau Sekolah Pesisir. Diasuh oleh seorang penggerak komunitas, Butet Manurung, sekolah ini berusaha menurunkan jumlah buta huruf dan berorientasi pada kemandirian komunitas.
Sukarelawan yang mengabdi di sana berjumlah lima orang. Di antaranya Habibie (mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar yang saat ini menjadi sukarelawan Sokola di Flores), Dian Megawati (mahasiswi Universitas Terbuka), Ridhayani dan Susilawati (alumni Universitas Hasanuddin), serta Makmur yang akrab dipanggil Pitte.
Semua relawan masih muda, rata-rata berusia duapuluhan. Dengan kurikulum yang tak mengacu pada kurikulum sekolah biasa, Ruma Sokola memberi kebebasan pada siswa belajar sesuka hati. Ada empat kelas yang menjadi acuan. Pukul delapan pagi, playgroup untuk usia empat hingga enam tahun. Kelas literasi dengan materi membaca, menulis, dan berhitung untuk usia enam ke atas pada pukul 10 sampai 12 siang. Bahasa Arab (mengaji) pada pukul empat sore. Dan keterampilan komputer untuk usia belasan pada pukul enam sore.
Di tahun kedua ini Sekolah Pesisir memiliki empat puluh siswa yang terdaftar. Namun yang aktif belajar hanya sekitar 20 orang. Hal ini disebabkan karena mereka lebih memilih membantu orangtuanya untuk menopang ekonomi keluarga. Mencari kerang atau berjualan goccang menjadi pekerjaan yang harus mereka jalani.
Goccang (bahasa Makassar yang artinya diguncang/dikocok –ed) adalah sebuah permainan yang menyerupai judi. Dengan taruhan seratus rupiah sekali main setiap orang harus mencocokkan kartu yang ia pegang dengan kartu yang dipegang sang penjual. Ketika kartu yang keluar sama, sang pemain mendapatkan hadiah: makanan ringan, biskuit, hingga sampo. Biasanya dengan modal Rp.20.000 sang penjual dapat untung hingga Rp.40.000 jika pemain tak pernah berhasil mencocokkan kartu. Selain berjualan goccang, anak-anak itu terkadang ngamen di kawasan pusat jajanan Pantai Losari hingga larut malam. Sejumlah anak bahkan mengisi harinya untuk mengais limbah sampah yang bermuara di perairan sekitar tempat tinggal mereka.
Ceria belajar. Foto : istimewa.
Hampir dua ratus murid yang pernah terdaftar di sekolah ini selama dua tahun terakhir. Tahun lalu dua puluh empat siswa memperoleh beasiswa enam tahun pelajaran dari PT Telkomsel.
“Namun tahun ini tak ada donatur yang memberikan beasiswa. Jadi hanya siswa yang disekolahkan orangtuanya yang mampu mendapat pendidikan formal. Yang lain harus belajar lagi di sini. Inginnya sih ada kejar paket A. Sehingga anak-anak yang pernah putus sekolah dapat langsung ujian persamaan. Namun, belum ada yang mau menfasilitasi,” jelas Dian, salah seorang relawan.
Pembangunan rumah panggung yang baru dan biaya operasional sekolah untuk tahun ini merupakan bantuan PT Pertamina. Rumah panggung kecil itu mengemban semangat yang besar untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi anak-anak pesisir di Kelurahan Lette dan Kampung Buyang.
Meski para relawan mengakui tidak mudah meyakinkan anak-anak itu bahwa dengan belajar mereka dapat meraih masa depan yang lebih baik, namun tahun ajaran baru kali ini mereka berharap setidaknya Jumiatia, Basir, Lina, Indah, dan kawan-kawannya bertahan untuk terus meluangkan waktu belajar dan bermain di Ruma Sokola.
Saat saya beranjak meninggalkan Ruma Sokola, di kejauhan tampak spanduk “Tanjung Bunga – The Pride of Makassar” berkibar angkuh di sepanjang Jalan Metro Tanjung Bunga. Semua warga Makassar mengenal Tanjung Bunga, kompleks perumahan mewah yang menjadi salah satu simbol kemajuan kota. Tapi berapa banyakkah warga kota yang mengenal dan peduli pada kelompok masyarakat kota yang miskin, yang tinggal tepat di luar pagar pembatas perumahan mewah itu?
Dalam perjalanan pulang tawa anak-anak pesisir itu masih berderai dalam ingatan. Terbayang lagi, wajah-wajah polos yang menyambut saya siang tadi di Ruma Sokola. Hari ini saya telah menjadi bagian dari keceriaan mereka, anak-anak yang lahir dan besar di tengah kemiskinan kota, yang membangun surga kecilnya dan bergembira di Ruma Sokola (p!)
* Citizen reporter Dwiagustriani adalah mahasiswi Jurusan Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar, dapat dihubungi melalui email terasimaji@yahoo.co.id