Calon Lokasi Balla Papilajarang yang Baru

” kitajiya… kalo saya mauku sokola ada terus! “
(mamak Mindong-orang tua murid Sokola Pesisir ketika ditanya pendapatnya bila Sokola Pesisir Mariso ditutup)

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, Sokola Pesisir Mariso saat ini harus berkemas untuk segera pindah dari Balla Papilajarang tempat kami berkegiatan selama ini. Ultimatum yang diberikan adalah sampai dengan batas waktu bulan Mei 2012 bangunan rumah belajar ini harus segera dikosongkan karena pemilik tanahnya memiliki rencana lain atas tanahnya.

Beberapa guru dan relawan Sokola Pesisir Mariso telah mencari dan mengobservasi beberapa lokasi untuk rencana pembangunan Balla Papilajarang yang baru dan akhirnya menemukan sebuah lokasi yang dirasa pas dan cocok. Lokasinya tidak jauh dari lokasi saat ini, kurang lebih 20m ke arah barat. Pemilihan tempat didasarkan pada tempat tinggal serta lingkungan kader dan peserta didik. Selain dekat dengan keberadaan Sokola Pesisir Mariso saat ini, lokasi tersebut juga berada ditengah komunitas dampingan dan bertetangga dengan lapangan sepak bola tempat anak-anak dan remaja bermain setiap hari.

(calon lokasi Balla Papilajarang yang baru)

Keterangan:

Luas Tanah: 5m x 15m

Hak Kepemilikan: Sertifikat

Harga: 40 juta

Akta jual beli tanah: 2,2 juta

Sertifikat: 3 juta

Tetap Semangat… !!

SOS, Support Our Sokola

Pesisir Mariso

Yang ingin membantu  mewujudkan impian kami untuk terus mendampingi anak-anak dan remaja Mariso di Balla Papilajarang yang baru, silahkan buka link ini

Ayo ke “Ruma Sokola”! (2)

Tulisan ini adalah salinan dari artikel lama yang ditulis Dwi Agustriani di Portal Panyingkul. Kami menyuguhkan kembali untuk anda mengenal kembali bagaimana Ruma Sokola atau Sekolah Pesisir tahun 2006. Tulisan ini kami pecah menjadi 2 bagian. Bagian pertama bisa dilihat disini. Selamat membaca.

***

Citizen reporter Dwiagustriani menelusuri kehidupan anak-anak di kawasan kumuh di Kelurahan Lette dan Kampung Buyang, Makassar. Sekolah alternatif yang disebut Ruma Sokola didirikan dua tahun lalu oleh sejumlah relawan untuk menampung anak-anak putus sekolah di kawasan yang bersebelahan dengan salah satu perumahan termewah di Makassar itu. Namun, masih banyak anak yang memilih mencari nafkah dari pada belajar di Ruma Sokola.(p!)

***

ANAK-ANAK itu berasal dari kelurahan Kampung Buyang dan Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso. Kelurahan yang berada pada pesisir Pantai Losari. Letaknya hanya tiga blok dari Gelanggang Olahraga Andi Matalatta. Kelurahan yang berada di Jalan Nusa Indah ini memang tak tampak kumuh jika dilihat dari sisi depan.

Rumah-rumah mewah berdesain menarik masih mudah ditemui beberapa ratus meter di sepanjang jalan masuk ke kawasan ini dari arah Jalan Cendrawasih. Taman Kanak-kanak “Santa Anna” yang elit bahkan tampak berdiri anggun. Namun, hanya 50 meter dari TK swasta yang mahal itu tersaji pemandangan yang berbeda 180 derajat.

Di sana terlihat sebuah gapura tua dengan papan penunjuk jalan bertuliskan “Nusa Indah Satu”.
Memasuki lorong selebar dua meter itu, rumah-rumah tampak berdiri saling berhimpit. Jaraknya hanya kira-kira 30 sentimeter antara satu rumah dengan rumah yang lain.

Seng yang termakan karat berwarna cokelat kemerahan menjadi atap yang menaungi rumah-rumah itu. Beberapa lubang di atasnya membentuk bulatan kecil, tempat cahaya menerobos ke lantai. Tentunya di saat hujan turun, para penghuni rumah sibuk menadah air hujan. Tripleks dan papan tipis yang berfungsi sebagai dinding rumah.

Keingintahuan yang tetap tumbuh bersama tumpukan sampah. Foto : istimewa.

Sisi kanan-kiri jalan dipenuhi air selokan yang kental kehitaman, yang tak mengalir. Bau tajam menyeruak. Sampah plastik deterjen, bungkus plastik mi instan, dan makanan ringan mengambang di atas selokan. Tinggi air itu hanya sejengkal dari bibir jalan. Pemandangan anak-anak yang buang hajat di lubang selokan di satu sisi jalan dan warga yang membakar ikan di sisi jalan yang lain, menjadi hal lumrah.

Jalanan kecil ini kemudian menyempit saat mencapai ujungnya, dan bahkan memotong kolong rumah warga. Rumah di sepanjang lorong itu mayoritas berbentuk rumah panggung. Jumlah anggota keluarga yang banyak dengan rumah yang terlalu sempit memaksa warga memanfaatkan kolong rumah mereka untuk ditinggali.

Tak jarang ruang tamu rumah sebelah harus berhadapan langsung dengan comberan rumah yang lain. Ketika musim hujan air selokan meluap, membanjiri lantai rumah warga. MCK dan sanitasi di daerah ini menjadi sesuatu yang asing. Mereka lebih memilih untuk buang hajat di selokan atau di genangan air laut yang tak mengalir.

Daerah sekitar kelurahan ini awalnya merupakan laut dalam, yang sekaligus menjadi pusat mata pencaharian penduduk yang menjadi nelayan. Namun, reklamasi pantai mengharuskan mereka beralih mata pencaharian. Pembangunan Jalan Metro Tanjung Bunga yang membelah lautan da terhubung hingga Kabupaten Gowa menyebabkan terjadinya pendakalan sekitar Kampung Buyang. Limbah yang dulunya mengalir ke laut lepas, kini terhalangi oleh pembangunan jalan itu. Jadilah kini limbah itu menggenang di pesisir Kampung Buyang. Daerah itu pun menjadi makin kumuh dan kotor.

Pantai Buyang. Foto : istimewa.

Tentu saja sulit bagi para nelayan lokal mengharapkan hasil laut yang memadai di perairan yang makin dangkal dan tercemar. Hanya nelayan yang berperahu mesin yang dapat terus bertahan dengan menjelajah hingga ke laut lepas. Sedangkan para nelayan kecil harus beralih menggeluti kerja kasar. Buruh bangunan, tukang becak, berjualan ikan, atau berjualan buah dan jagung rebus menjadi alternatif pekerjaan, yang menurut mereka penghasilannya jauh lebih rendah.
Kehidupan yang makin sulit inilah yang dituturkan anak-anak yang belajar di Ruma Sokola, serta anak-anak Kampung Buyang lainnya yang saya temui. Mereka terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan biaya.

Indahsari, bocah lincah yang putus sekolah saat kelas tiga SD bercerita mengapa ia berhenti sekolah.

“Na suruh ka guru minta uang bayar sekolah. Na bilang, mintako sama mamamu uang sekolah,” katanya menirukan penuturan ibu gurunya,“terus Mamaku bilang, jangan mako dulu ke sekolah. Karena ndaz` ada uang. Adekku sekarang yang sekolah kelas satu.”

Nada lirih juga keluar dari mulut Lilis Karlina yang akrab di panggil Lina. Ia berhenti sekolah karena ibunya yang menyuruhnya berhenti.

“Nda tau kenapa. Sampe ja kelas dua,” jelasnya sambil mengerjakan soal perhitungannya.

Seperti halnya Indah, Lina juga harus bergantian dengan adiknya untuk mengecap rasanya duduk di bangku sekolah.
Ketika ditanya tentang pekerjaan orangtuanya, dengan ekspresi kebingungan ia menggelengkan kepala.

“Mamaku tinggal ji di rumah. Bapakku juga.”

Tak hanya Lina dan Indah, namun puluhan anak kemudian merasakan hal yang sama. Harus putus sekolah kerena tak ada biaya.

Tergerak akan hal tersebut, Sokola, sebuah komunitas alternatif untuk pendidikan mendirikan Ruma Sokola di Makassar pada bulan Januari 2005.

Nama sekolah ini disebut juga “School by the Sea” atau Sekolah Pesisir. Diasuh oleh seorang penggerak komunitas, Butet Manurung, sekolah ini berusaha menurunkan jumlah buta huruf dan berorientasi pada kemandirian komunitas.

Sukarelawan yang mengabdi di sana berjumlah lima orang. Di antaranya Habibie (mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar yang saat ini menjadi sukarelawan Sokola di Flores), Dian Megawati (mahasiswi Universitas Terbuka), Ridhayani dan Susilawati (alumni Universitas Hasanuddin), serta Makmur yang akrab dipanggil Pitte.

Semua relawan masih muda, rata-rata berusia duapuluhan. Dengan kurikulum yang tak mengacu pada kurikulum sekolah biasa, Ruma Sokola memberi kebebasan pada siswa belajar sesuka hati. Ada empat kelas yang menjadi acuan. Pukul delapan pagi, playgroup untuk usia empat hingga enam tahun. Kelas literasi dengan materi membaca, menulis, dan berhitung untuk usia enam ke atas pada pukul 10 sampai 12 siang. Bahasa Arab (mengaji) pada pukul empat sore. Dan keterampilan komputer untuk usia belasan pada pukul enam sore.

Di tahun kedua ini Sekolah Pesisir memiliki empat puluh siswa yang terdaftar. Namun yang aktif belajar hanya sekitar 20 orang. Hal ini disebabkan karena mereka lebih memilih membantu orangtuanya untuk menopang ekonomi keluarga. Mencari kerang atau berjualan goccang menjadi pekerjaan yang harus mereka jalani.

Goccang (bahasa Makassar yang artinya diguncang/dikocok –ed) adalah sebuah permainan yang menyerupai judi. Dengan taruhan seratus rupiah sekali main setiap orang harus mencocokkan kartu yang ia pegang dengan kartu yang dipegang sang penjual. Ketika kartu yang keluar sama, sang pemain mendapatkan hadiah: makanan ringan, biskuit, hingga sampo. Biasanya dengan modal Rp.20.000 sang penjual dapat untung hingga Rp.40.000 jika pemain tak pernah berhasil mencocokkan kartu. Selain berjualan goccang, anak-anak itu terkadang ngamen di kawasan pusat jajanan Pantai Losari hingga larut malam. Sejumlah anak bahkan mengisi harinya untuk mengais limbah sampah yang bermuara di perairan sekitar tempat tinggal mereka.

Ceria belajar. Foto : istimewa.

Hampir dua ratus murid yang pernah terdaftar di sekolah ini selama dua tahun terakhir. Tahun lalu dua puluh empat siswa memperoleh beasiswa enam tahun pelajaran dari PT Telkomsel.

“Namun tahun ini tak ada donatur yang memberikan beasiswa. Jadi hanya siswa yang disekolahkan orangtuanya yang mampu mendapat pendidikan formal. Yang lain harus belajar lagi di sini. Inginnya sih ada kejar paket A. Sehingga anak-anak yang pernah putus sekolah dapat langsung ujian persamaan. Namun, belum ada yang mau menfasilitasi,” jelas Dian, salah seorang relawan.

Pembangunan rumah panggung yang baru dan biaya operasional sekolah untuk tahun ini merupakan bantuan PT Pertamina. Rumah panggung kecil itu mengemban semangat yang besar untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi anak-anak pesisir di Kelurahan Lette dan Kampung Buyang.

Meski para relawan mengakui tidak mudah meyakinkan anak-anak itu bahwa dengan belajar mereka dapat meraih masa depan yang lebih baik, namun tahun ajaran baru kali ini mereka berharap setidaknya Jumiatia, Basir, Lina, Indah, dan kawan-kawannya bertahan untuk terus meluangkan waktu belajar dan bermain di Ruma Sokola.

Saat saya beranjak meninggalkan Ruma Sokola, di kejauhan tampak spanduk “Tanjung Bunga – The Pride of Makassar” berkibar angkuh di sepanjang Jalan Metro Tanjung Bunga. Semua warga Makassar mengenal Tanjung Bunga, kompleks perumahan mewah yang menjadi salah satu simbol kemajuan kota. Tapi berapa banyakkah warga kota yang mengenal dan peduli pada kelompok masyarakat kota yang miskin, yang tinggal tepat di luar pagar pembatas perumahan mewah itu?
Dalam perjalanan pulang tawa anak-anak pesisir itu masih berderai dalam ingatan. Terbayang lagi, wajah-wajah polos yang menyambut saya siang tadi di Ruma Sokola. Hari ini saya telah menjadi bagian dari keceriaan mereka, anak-anak yang lahir dan besar di tengah kemiskinan kota, yang membangun surga kecilnya dan bergembira di Ruma Sokola (p!)

* Citizen reporter Dwiagustriani adalah mahasiswi Jurusan Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar, dapat dihubungi melalui email terasimaji@yahoo.co.id

Ayo ke “Ruma Sokola”! (1)

Tulisan ini adalah salinan dari artikel lama yang ditulis Dwi Agustriani di Portal Panyingkul. Kami menyuguhkan kembali untuk anda mengenal kembali bagaimana Ruma Sokola atau Sekolah Pesisir tahun 2006. Tulisan ini kami pecah menjadi 2 bagian. Selamat membaca.

***

Citizen reporter Dwiagustriani menelusuri kehidupan anak-anak di kawasan kumuh di Kelurahan Lette dan Kampung Buyang, Makassar. Sekolah alternatif yang disebut Ruma Sokola didirikan dua tahun lalu oleh sejumlah relawan untuk menampung anak-anak putus sekolah di kawasan yang bersebelahan dengan salah satu perumahan termewah di Makassar itu. Namun, masih banyak anak yang memilih mencari nafkah dari pada belajar di Ruma Sokola.(p!)

***

Tahun ajaran baru telah dimulai 18 Juli lalu. Liburan telah usai. Suasana pagi kembali diramaikan oleh anak-anak dengan seragam dan perlengkapan belajar –yang biasanya juga serba baru. Namun, akan halnya Jumiatia, Basir, Lina, Indah, dan sejumlah anak-anak lainnya yang tinggal di Kelurahan Lette, Makassar, awal tahun ajaran baru tidak berarti harus berangkat ke sekolah. Mereka justru lebih memilih bermain di sebuah rumah panggung yang terletak di sisi kiri Jalan Metro Tanjung Bunga.

Murid dan guru Ruma Sokola. Foto : istimewa

Di suatu hari di akhir bulan Juli, saya menghabiskan waktu bersama lima belas anak kecil berusia lima hingga empat belas tahun di rumah panggung itu. Mereka berlarian di kolong rumah yang tampak masih baru itu. Bangunan rumah panggung itu belumlah rampung sepenuhnya. Lantai papan baru dipasang sehari sebelumnya. Suara kanak-kanak pun riuh rendah membelah siang yang panas.

Sesekali mereka tampak berkejar-kejaran di atas papan itu. Mungkin untuk mengakrabkan kaki-kaki mereka pada lantai baru. Masing-masing memegang sapu, kain pel, dan ember.

Jumat siang itu, mereka sangat tekun bekerja bakti membersihkan rumah panggung. Sampah-sampah bekas gergaji kemarin, dipungut kemudian dibakar. Kaca-kaca jendela dilap hingga bersih. Tak lupa pula bekas coretan kapur karya mereka di dinding rumah., ikut dibersihkan. Mereka bahkan berebut mengepel lantai. Air bercipratan dan menggenang, membasahi hampir separuh lantai papan itu.

“Sudah-sudah. Ngepelnya diselesaikan,” teriak Rida, relawan yang bertugas siang itu. Teriakan itu tidak mereka gubris hingga sang guru harus membuang air bekas pel itu.

“Sekarang membersihkannya selesai. Ayo baris di belakang Kak Rida,” katanya lagi yang disambut oleh wajah riang anak-anak itu. Mereka dengan senang berdiri di belakang perempuan berusia 25 tahun itu. Sambil memegangi pinggang temannya, mereka membentuk sebuah barisan ular. Berjalan sambil berdendang:

Naik kereta api tut…tut…tut….

Tekun, meski tanpa meja dan kursi. Foto : istimewa.

“Nah, sekarang naik ke rumah. Sandalnya dilepas di tangga. Ikuti kak Rida. Kak Rida duluan. Tak ada yang boleh mendahului”.

Anak-anak pun mengikuti gerak-gerik gurunya. Namun akhirnya mereka tetap saja saling berebut mendahului. Suara kaki kecil mereka bergemuruh menginjak anak tangga.

Rumah itu berukuran lima kali enam meter. Di teras depannya tergantung sebuah tulisan “SOKOLA” yang terbuat dari tempelan-tempelan ubin. Saat memasuki pintu, kita pun mendapati pajangan mozaik dari pecahan ubin, yang bergambar perahu. Karakter Mickey Mouse, lukisan pemandangan, hingga mozaik bertuliskan Slank memenuhi dinding itu.
Mozaik itu merupakan hasil karya anak-anak dan pengajar. Mereka menamainya “Marmoz”., singkatan dari Mariso Mozaik. Mariso adalah nama sebutan lainnya bagi kawasan ini, yang secara administarif merupakan salah satu nama kecamatan di wilayah Kotamadya Makassar.

Foto-foto ketika mereka belajar dan saat penamatan siswa tahun pertama terpampang di samping mozaik-mozaik itu. Di balik dinding tempat mozaik itu terpajang, terdapat satu ruangan yang memisahkannya dengan ruang utama. Di pintunya tertulis “Kantor Sokola”.

Di dalamnya bertumpuk karpet susun bercorak angka dan huruf. Ada pula sekotak kertas bekas. Juga terlihat permainan puzzle kotak untuk menyusun bentuk. Jejeran Alquran dan buku catatan bacaan Iqra tersusun rapi di sebuah rak buku. Gulungan kain bercorak kotak-kotak biru yang merupakan bahan untuk seragam para siswa, bersandar di sudut ruangan.
Di dinding depan ruang kantor terpasang karton manila putih yang dipenuhi kertas gambar, puisi dan jadwal membersihkan. Di bagian atasnya tertulis “Mading Sekolah Pesisir”. Sejajar ke bawah terdapat sebuah papan tulis berukuran 120 cm x 60 cm.

Di sisi lain dinding rumah itu terdapat empat rak buku yang menggantung. Komik Jepang dari serial anak, remaja hingga misteri, tertata rapi di salah satu rak. Buku-buku mewarnai yang penuh dengan coretan crayon juga tersusun rapi. Majalah Bobo dan Donal Bebek dengan sampul yang mulai kucel dan beberapa bagiannya terlepas tak ketinggalan mengisi rak-rak buku itu.

“Kalau sudah tahu ambil buku, harus tahu bagaimana merapikannya,” ujar Rida setiap kali anak-anak membaca buku dan tak merapikannya.

Acara kerja bakti hari itu selesai 30 menit sebelum azan Jumat berkumandang. Kegiatan dilanjutkan dengan membuat hasta karya.

Anak-anak mengambil berlembar-lembar kertas bekas menggambar. Seorang relawan lainnya bernama Pitte, memberi petunjuk pada anak-anak untuk mengelem kertas-kertas itu hingga menjadi sebuah kertas persegi raksasa. Nantinya akan dibuat menjadi origami raksasa.

Tawa berderai sesekali keluar dari mulut mungil anak-anak ketika merangkai kertas origami. Sesekali mereka saling berebutan kertas yang kadang membuat temannya marah hingga menangis.

Raut serius pun terlukis di wajah-wajah polos itu. Tekun mereka mengelem rangkaian kertas yang kian membesar.

“Kak…ini buku,” kata seorang bocah laki-laki sambil mengambil kertas yang disebutnya buku.

“Ini kertas. Bukan buku. Buku itu kalau banyak kertasnya dan terjilid,” terang gurunya.

Tangan-tangan kecil itu sesekali berhenti bekerja. Lem fox yang mulai mengering di jari-jari mereka dengan asyik dicabuti.

“Kotor ki. Mau ka cuci ki”, kata salah seorang anak.

“Iya. Tapi kalau sudah pulang ya. Di sini tidak ada air,” jelas Susi, salah seorang guru relawan lainnya.

“Itu ada,” kata sang bocah sambil menunjukkan genangan air yang mengitari rumah itu.

Genangan itu ditutupi sampah plastik mi instan dan makanan ringan, bekas deterjen, sabun colek, bungkus sabun mandi, dan sandal-sandal yang talinya telah putus.

“Jangan di situ. Itu kotor.”

Namun, anak-anak itu tidak tahan. Lem yang melengket di jari-jari mereka mungkin terasa mengganggu. Tanpa mengindahkan nasehat gurunya, mereka tetap membasahi tangan mereka di genangan air itu.

“Aduh. Kakak sudah bilang jangan cuci di situ. Ya, sudah. Pulang saja. Hasil karyanya Senin nanti baru kita lihat.”

Tanpa dikomando anak-anak itu membereskan hasil kerjanya. Tak lupa mencium tangan guru-gurnya, sebelum beranjak pulang.